Sabtu, 04 Mei 2013

PROFIL

Profil Djohan Hanafiah,  Oleh : Ardhiansyah (http://putrasriwijaya.wordpress.com)
Djohan Hanafiah dilahirkan di Palembang pada 5 Juni 1939 dari pasangan Raden Muhammad Ali Amin dan Raden Ayu Ning Fatimah. Dia merupakan anak sulung dari tujuh bersaudara. Sejak remaja Djohan Hanafiah senang berpetualang. Menggunakan kereta api atau kapal laut, Djohan sering mengunjungi banyak tempat di Sumatera dan Jawa. Selama perjalanan itu, dia menikmati segala kekayaan budaya pada masyarakat Indonesia.

Rasa senangnya akan kebudayaan Indonesia ini dipengaruhi oleh pemikiran Ki Hajar Dewantara melalui pendidikan di Perguruan Taman Siswa—Djohan Hanafiah sekolah SD, SMP, SMA di Perguruan Taman Siswa. Selain itu, juga didorong pemikiran Bung Karno dan AK Gani mengenai nasionalisme atau Indonesia. Pada zaman revolusi berkisar tahun 1945-1946, Djohan Hanafiah dititipkan ke keluarganya di 26 Ilir, sementara kedua orangtuanya bergerilya ke pedalaman Sumatera Selatan melawan tentara NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie).
Ternyata keluarga yang ditumpangi Djohan Hanafiah ini pro kepada Belanda. Hal ini yang menyebabkan jiwa Djohan saat itu memberontak. Dia banyak bermain di luar rumah. Buat mengekspresikan rasa kecewanya, dia bersama anak-anak lainnya di kampung itu, membuat perang-perang. Djohan selalu menjadi pasukan Indonesia yang berperang melawan Belanda.
Mengapa ada keluarga Djohan Hanafiah yang berpihak Belanda? Menurut Djohan, saat itu kaum ningrat di Palembang lebih setuju bergabung dengan Belanda yang akan membentuk Negara Sumatera Selatan. Kenapa? Sebab selama Belanda berkuasa, kaum ninggrat ini, sebagian hidupnya makmur dan tentram, sebab dilindungi oleh Belanda. Saat itu pula Belanda berjanji akan menghidupkan kembali Kesultanan Palembang Darussalam melalui Negara Sumatra Selatan itu. Jadi menurut Djohan Hanafiah, saat itu konflik terjadi pada wong Palembang (kaum ninggratnya) bukan memilih antara Indonesia dengan Belanda, tapi bergabung ke Indonesia atau menghidupkan kembali Kesultanan Palembang Darussalam.

Saat aktif sebagai mahasiswa Universitas Sriwijaya, Djohan aktif di organisasi pemuda (GMNI) dan wartawan di koran Panji Revolusi. Djohan juga dikenal sebagai wartawan yang garis politiknya ke PNI. Selama itu pula Djohan banyak menulis tentang kebudayaan Indonesia, khususnya kebudayaan Palembang. Saat perploncoan mahasiswa baru Universitas Sriwijaya, tahun 1962, Djohan kali pertama bertemu dengan Taufiq Kiemas, yang kemudian diajaknya bergabung dengan GMNI.
Tugas pertama Taufiq Kiemas yakni mengumpulkan sumbangan dana untuk membiayai fakultas kedokteran Unsri yang baru dibuka. Sejak itu Djohan dan Taufiq terus bersama, baik melakukan diskusi maupun aksi-aksi terkait dengan perjuangan GMNI saat itu. Tetapi, saat itu, Djohan juga banyak menulis soal budaya dan sejarah.

Saat transisi pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru, Djohan ditangkap selaku wartawan, dan Taufiq ditangkap selaku aktifis GMNI.

Hampir bersamaan, pada era tahun 1970-an, baik Djohan maupun Taufiq lebih banyak aktif di dunia bisnis. Baru di tahun 1980-an, keduanya kembali terjun ke dunia politik. Bedanya Taufiq di PDI—kemudian mendeklarasikan PDI Perjuangan—dan Djohan di Partai Golkar.
Djohan dikenal sebagai teman dan juga “guru” politik dari Taufiq Kiemas, suami dari Megawati Soekarnoputri. Djohan Hanafiah sering disebut sebagai bapak “penggali sejarah dan budaya Palembang”, sebab dialah sosok yang banyak menulis artikel, buku, serta menjadi narasumber mengenai sejarah dan budaya Palembang.

Salah satu teori Djohan Hanafiah yang sudah diterima di kalangan akademisi yakni soal “Palembang buntung”. Ternyata ujaran “Palembang buntung” itu menunjukkan akar budaya Palembang yang arti negatifnya buntung atau tidak selesai, merupakan perwujudan dari perpaduan dua kebudayaan yakni Melayu dan Jawa, secara kebudayaan wong Palembang itu tidak jelas identitasnya, disebut wong Melayu bukan, disebut wong Jawa bukan.

Sayang, keinginannya untuk menulis sebuah buku tentang kebudayaan Palembang tersebut terhenti. Ini sebagai akibat situasi politik Indonesia berkisar 1965. Baru setelah sekian puluhan tahun kemudian, tahun 1995, kegelisahannya mengenai “Palembang Buntung” diwujudkan dalam sebuah buku berjudul “Melayu-Jawa, Citra Budaya dan Sejarah Palembang” diterbitkan Rajagrafindo Persada Jakarta.

Di masa awal rezim Orde Baru, Djohan akhirnya lebih banyak bergelut di dunia bisnis. Dia ingin membangun kekuatan ekonomi. Sebab menurut Djohan masyarakat yang selamat dalam perubahan politik adalah mereka yang sebagian besar memiliki kemampuan atau basis ekonomi yang baik.
Tahun 1967-1971, Djohan Hanafiah menjadi Representative Area Sumatra for CIBA-GEIGY. Selanjutnya pindah menjadi Sales Manager for Southern Sumatra Grolier International hingga tahun 1973, lalu membuat perusahaan sendiri yakni CV.Mitra, authorized dealer VOLKSWAGEN di Palembang hingga tahun 1975. Lalu Djohan terjun sebagai pengurus HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) dan KADIN (Kamar Dagang Indonesia).

Bisnisnya terus berkembang hingga memimpin sejumlah perusahaan di Palembang. Dan, terakhir dia sebagai Direktur Utama PT.Tejacatur Primaperkasa hingga 1993, sebelum akhirnya memutuskan terjun ke politik dan memberikan waktu yang lebih banyak buat melacak dan menggali sejarah dan budaya Palembang. Sejak 1992-1997 Djohan Hanafiah menjadi anggota DPRD Sumatera Selatan, dan kembali terpilih menjadi wakil rakyat sejak 1999-2004.

Beberapa tahun menjelang Soeharto turun, Djohan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kerja kebudayaan. Dia menulis sejumlah buku sejarah dan budaya, termasuk menjadi tokoh penggerak kebudayaan Melayu di Asia Tenggara.

Basis ekonomi ini pula yang mendukung suami dari Napisah (almarhum) untuk mengumpulkan bahan-bahan sejarah, baik berupa buku maupun dokumen lainnya. Djohan pun melakukan sejumlah perjalanan ke berbagai daerah di Indonesia, maupun perjalanan ke ke luar negeri seperti Belanda, guna mendapatkan dokumen sejarah budaya Palembang.

Setelah mengundurkan diri sebagai pengusaha, Djohan mulai menerbitkan banyak buku, artikel, esai, mengenai sejarah dan budaya Palembang. Bersamaan dengan itu, pelacakan sejarah atau bukti-bukti baru mengenai sejarah Palembang dan Sumatra Selatan terus diburu mantan Ketua Dewan Kesenian Sumatra Selatan ini.

Buah dari totalitasnya ini Djohan Hanafiah mendapat penghargaan Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Megawati Soekarnoputri tahun 2004. Penghargaan juga datang dari Malaysia yakni 3rd Malay and Islamic World Convention di Melaka 2002, oleh Dr.M. Mahatir, Prime Minister Malaysia, serta sejumlah penghargaan lainnya. Dapat dikatakan pelacakan kembali sejarah Palembang yang mulai marak tahun 1980-an akhir, semua bermula dari pembacaan atas buku atau artikel sejarah dan budaya yang ditulis Djohan Hanafiah.

Budayawan dan sejarawan Palembang ini meninggal dunia di RSCM Jakarta, Kamis (15/04/2010) sekitar pukul 01.15, lantaran penyakit jantung koroner setelah sempat dirawat selama 12 hari dan dikebumikan di pemakaman keluarga di TPU Puncaksekuning, Palembang pukul 13.30 siang, setelah sebelumnya disemayamkan di rumah orangtuanya di Jalan Talang Semut Lama nomor 3, Palembang. Meninggalkan seorang putra dan tiga orang putri, Revi Vereyanthi, Resi Stantiawati, Reli Everyanti, dan Mohamad Iksan. Sedangkan istrinya, Hj Nafisah, meninggal tahun 2008 lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar