Senin, 12 Mei 2014

Apakah Anda Pedofil?

Apakah Anda Pedofil?


Belakangan ini, marak diperbincangkan kasus pelecehan seksual yang terjadi di TK Jakarta International School (JIC). Pelaku diduga mengidap semacam gangguan kejiwaan khusus yang cenderung menyukai anak-anak atau biasa disebut pedofilia. Sebenarnya, apakah rasa sayang terhadap anak-anak berpotensi menjadi pedofil?

Menurut pakar seksolog dr. Oka Negara, pedofilia berasal dari kata “pedo” yang artinya anak dan “filia” yang berarti cinta atau rasa sayang. Jika ditelusuri, makna pedofilia berarti ketertarikan orang dewasa atau yang dianggap sudah cukup umur untuk beraktivitas seksual dengan anak-anak usia di bawah 12 tahun. Jadi, bukan sekadar sayang, melainkan ada motif seksual di baliknya.

Motif tersebut, kata dia, bisa berasal dari krisis identitas yang dipicu oleh lingkungan, peristiwa psikologis yang dialami, atau cara seseorang memandang dirinya sendiri.  "Jika pembentukan identitas dilalui dengan masa lalu yang traumatik atau lingkungan mendorongnya lebih memilih melakukan aktivitas seksual dengan anak-anak, itulah menjadi penyebabnya," ujar dokter Oka saat diwawancarai Plasadana.com untuk Yahoo Indonesia.

Jika ditelaah kembali, sambung dia, pembentukan identitas diri yang gagal tersebut bisa disebabkan oleh beberapa hal. Yakni, trauma psikis masa kecil karena di masa kanak-kanak pernah menjadi korban pedofilia atau pernah melihat kejadian pedofilia di depan mata. Pengalaman tersebut, akhirnya menempatkan kejadian itu sebagai sebuah standar perilaku seksual untuk dirinya sendiri.

Penyebab lain, kata Oka, adalah inferioritas atau rasa rendah diri. Karena merasa tidak punya kelebihan dan merasa gagal dalam relasi sosial antarsebaya, sehingga dengan menguasai anak kecil secara seksual, dia akan merasa memiliki power sebagai orang yang punya harga diri.

"Anti-sosial atau kurangnya sosialisasi saat berada di kalangan sebayanya, sering membuatnya lebih nyaman dengan anak-anak," papar dokter yang pernah menjabat sebagai Sekretaris II Pengurus Pusat Asosiasi Seksologi Indonesia itu.

Terkait dengan kebiasaan pedofil menjadikan anak sebagai sasaran, Oka menuturkan, hal itu bisa dijelaskan lewat konsep "dominasi". Karena seseorang merasa tidak nyaman atau tidak mendapatkan pengakuan serta kekuasaan secara seksual dari teman sebayanya, dia memilih anak-anak untuk dikuasai atau didominasi. Kualitas hidupnya merasa meningkat.

Bagaimana mengenali jika pedofil?

Biasanya, Oka melanjutkan, ia mengalami kesulitan bergaul dengan lepas, termasuk dalam konteks candaan seksual secara verbal dengan teman sebaya. Orang tersebut, cenderung menghindari pembicaraan seksual dengan sebaya. "Atau malah menarik diri dari lingkungan pergaulan sebaya," ujarnya.

Tak hanya itu, menurut dia, biasanya seorang pedofil terlihat lebih apatis dan lebih senang mengikuti acara atau sesi dengan anak-anak. Jika ditelusuri arsip personalnya, kadang bisa dijumpai dokumentasi berupa file foto atau tulisan tentang anak-anak. Utamanya, berkaitan dengan pornografi anak.

"Beberapa realitas itu bisa dijadikan dugaan adanya kemungkinan pedofilia," paparnya.

Pedofilia yang banyak mengemuka di media dan publik, Oka mengungkapkan, merupakan pedofilia yang sudah melakukan aksi. Dalam kenyataan lain, banyak juga pedofilia yang tanpa aksi dan cenderung hanya berfantasi atau melakukan aktivitas seksual sendiri, misalnya masturbasi,

Untuk mengembalikan orientasi seksual agar kembali menyukai orang dewasa sebaya, sambung dia, bukan hal mudah. Perlu adanya pendekatan khusus untuk menelusuri masa lalu dan trauma psikis penderita pedofilia. Dalam posisi ini, peran psikolog atau psikiater merupakan kunci utama.

"Walau kemungkinan cukup berat untuk dinormalkan berdasarkan persepsi umum, paling tidak target terapi adalah agar yang bersangkutan tidak melakukan aksi atau agresi seksual ke anak-anak," tukasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar